Bermula dari Beckham
Mungkin semua bermula dari David Beckham. Satu-satunya poster pemain sepak bola yang saya punya di kamar hanyalah poster mantan pemain Manchester United itu. Sepatu sepak bola pertama saya juga adalah sepatu sepak bolanya Beckham, Adidas Predator.
Saya punya cerita unik soal sepatu itu.
Ketika mencari sepatu sepak bola pertama, saya bilang kepada orang tua saya bahwa saya hanya mau bermain bila mengenakan sepatu seperti yang Beckham gunakan. Orang tua saya tahu harganya cukup mahal, jadi mereka coba menawarkan opsi sepatu lain. Namun, saya selalu menolak.
Suatu ketika kami sekeluarga menonton film 'Bend it Like Beckham'. Saya kemudian berpikir, mungkin ini waktu yang tepat untuk meyakinkan mereka. Maka ketika adegan Beckham sedang menendang bola muncul, saya bilang kepada orang tua saya bahwa akan "Bend it like him."
Dari situ, setiap kali edisi terbaru sepatunya Beckham dirilis, saya minta ke orang tua agar dibelikan. Saya bilang bahwa sepatu-sepatu itu akan mengantarkan saya menjadi pesepak bola yang bagus. Mereka membeli dan nyatanya, saya tak membual.
Saya juga beruntung karena orang tua saya begitu mendukung pilihan saya untuk jadi pesepak bola. Kebetulan, ayah saya juga memiliki pengalaman bermain sepak bola di masa mudanya. Di keluarga besar, saya bisa menemukan banyak sekali pesepak bola.
Bahkan, Anda mungkin tau nama ini: Gerard van der Lem. Ia adalah asistennya Louis van Gaal semasa di Ajax dan Barcelona. Dia adalah paman saya. Darah sepak bola yang mengalir membuat saya hanya punya cita-cita menjadi pesepak bola.
Saya terus bermain, bermain, dan kemudian mulai banyak pemandu bakat yang datang untuk melihat saya bermain. Di momen itu, saya mulai agak sedikit nervous. Ketika kemudian saya berhasil masuk AVV Zeeburgia, saya semakin serius.
Anda mungkin tak pernah mendengar AVV Zeeburgia. Mungkin banyak yang menyebut bahwa klub ini adalah klub amatir. Namun, banyak sekali talenta dari klub ini yang berhasil menembus klub besar. Tak cuma itu, klub kami juga sangat multikultural. Kamu tak hanya bisa menemukan pemain-pemain lokal di sana, tetapi juga ada dari Moroko, Turki, sampai Suriname.
Salah satu talenta di Zeeburgia yang kemudian mencuri perhatian banyak klub besar adalah saya. Marc Klok. Saat itu, klub junior Ajax, AZ Alkmaar, Utrecht, sampai Herenveen mengajak saya bergabung. Diminati klub-klub top Belanda jelas bikin saya galau menentukan pilihan.
Saat di rumah, saya berkonsultasi dengan ayah dan ibu saya. Mereka kemudian memberikan nasihat yang mengubah hidup saya. "Kamu bisa pergi ke Ajax, tetapi kamu akan menemui banyak pemain berbakat kalau pindah ke sana. Kesempatan akan sulit untukmu jadi pemain yang menonjol," begitu kira-kira yang mereka katakan.
Mereka melanjutkan, "Sebaiknya kamu pergi ke Utrecht. Mungkin di sana persaingan tidak terlalu ketat, jadi mudah bagimu untuk bersinar dan jadi pemain profesional." Nasihat itu yang kemudian membuat langkah saya berakhir di tim junior Utrecht.
Jujur saja, bermain untuk Ajax adalah mimpi buat saya. Saya lahir di Amsterdam dan adalah sebuah kebanggaan besar jika bermain untuk klub di mana saya berasal. Namun, saya sudah membuat keputusan dan tidak menyesalinya. Keputusan itu adalah untuk masa depan saya.
***
Waktu terus berlalu dan usia saya saat itu sudah 19 tahun. Saya masih berada di Jong Utrecht. Melihat kemampuan, saya merasa sudah waktunya untuk masuk ke tim utama sebuah tim. Menjadi pemain profesional sesungguhnya.
Akhirnya jalan terbuka. Bukan di Belanda, melainkan di Skotlandia. Saya tiba di sana, menjalani trial, dan meneken kontrak profesional. Akan tetapi, semua memang tak langsung berjalan mudah. Banyak hal baru berarti banyak tantangan baru yang lebih berat lagi.
Ketika tiba di sana, saya berada satu tim dengan banyak pemain yang lebih senior. Sementara saya 20 tahun saja belum. Di sesi latihan, saya coba menunjukkan yang terbaik. Menonjolkan keberanian. Lalu, rekan-rekan setim saya memandangi seperti, "Siapa anak ini? Ia datang dari luar (negeri) dan mengapa seberani ini?"
Soal permainan, saya juga sangat merasakan perbedaan. Di Belanda, kami bermain lebih teknikal, sementara di Skotlandia sungguh begitu kick n rush. Latihan juga cukup berat dan terkadang saya merasa seperti sedang berada di kamp militer.
Saya juga menemukan beberapa ketidakcocokan, misalnya soal cuaca dan makanan di sana. Semua tidak seperti yang saya ekspektasikan. Situasi di sana kemudian tidak kunjung membaik. Saya menemui hal-hal buruk.
Acap kali saya pulang ke rumah dan kemudian menangis. Saya merasa sendirian. Tidak ada yang bicara kepada saya. Bahkan ketika saya coba berbicara kepada pelatih, mereka tidak mau mendengar.
Ketika kemudian saya jarang diberi kesempatan dan bahkan tidak dimasukkan ke bench saat pertandingan tiba, saya makin sedih. Itu bukan soal menit bermain, tetapi saya sedih karena saya merasa tidak bisa melakukan hal yang saya cintai: Bermain sepak bola.
Di momen itu, saya hampir menyerah. Saya kemudian mengakhiri kontrak dengan klub dan pulang ke Belanda. Saya berbicara kepada orang tua saya dan bilang bahwa saya tak bahagia jadi pesepak bola. Saya ingin berhenti.
Namun, nasihat ayah saya (lagi-lagi) menjadi pengubah takdir. "Kamu sudah melakukan banyak hal di hidupmu untuk menjadi seperti sekarang, menjadi pesepak bola. Kamu sudah mengorbankan banyak hal," ia memulai.
Lalu, ayah saya menambahkan. "Ketika teman-temanmu menghabiskan waktu untuk berpesta atau liburan kamu selalu bilang, 'Tidak, saya mau latihan.' Jadi tidak ada alasan untuk berhenti, lanjutkan. Ini akan membuat kamu jadi lebih kuat. Hal-hal seperti inilah yang akan membuat kamu jadi lebih baik.
Hati saya tergetar mendengar hal itu. Saat itu, jujur saja, saya memang sedang rindu bermain sepak bola. Saya kemudian mengangkat telepon, menghubungi ribuan agen dan berkata, "Hai, saya Marc Klok, tolong temukan klub untuk saya. Saya ingin bermain (sepak bola)."
Kemudian, Bulgaria (klub Cherno More) datang. Di sana, hal berubah drastis. Saya memang datang sebagai pemain muda, tetapi orang-orang di sana mau memberi saya kepercayaan. Saya bisa beradaptasi dan bermain lebih baik. Pelatih menyukai saya dan saya diberi kesempatan bermain setiap pertandingan.
Saya mungkin tak mengerti apa yang pelatih katakan karena kendala bahasa. Namun, saya selalu menunjukkan yang terbaik di lapangan dan dia puas dengan hal itu. Saya rasa Bulgaria adalah tempat saya benar-benar menemukan jati diri (lagi) sebagai pesepak bola.
Jika Anda bertanya apakah saya menyesal pernah berkarier di Skotlandia, jawabannya tidak. Saya cukup senang berada di sana. Setidaknya saya sudah mewujudkan mimpi masa kecil untuk bisa bermain di Inggris (Raya). Lagi pula, Skotlandia juga adalah tempat yang membuat mental saya lebih terasah dan membentuk saya seperti sekarang.
Sebab bagaimanapun, seluruh pengalaman saya di berbagai negara itulah yang membentuk gaya permainan saya sekarang ini. Saya muda, melihat banyak gaya permainan, dan saya bisa mengambil mana yang baik untuk bisa menjadikan saya pesepak bola yang bagus.
Marc Klok.
===
Tulisan ini diterbitkan juga dalam rubrik From the Bench di The Flanker.